Pujian dan Penghormatan Ulama Lain Kepadanya
Imam Syafi‘i pernah mengusulkan
kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup khalifah tersebut,
agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya
dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda untuk mengambil ilmu
dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi untuk mereka.”
Setelah itu pada tahun 195, Imam
Syafi‘i mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi
Imam Ahmad menolaknya. Suatu hari, Imam Syafi‘i masuk menemui Imam Ahmad dan
berkata, “Engkau lebih tahu tentang hadits dan perawi-perawinya. Jika ada
hadits shahih (yang engkau tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya)
dari Kufah atau Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang shahih.” Ini
menunjukkan kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi‘i karena mau mengembalikan
ilmu kepada ahlinya.
Imam Syafi‘i juga berkata, “Aku
keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di kota
tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih bertakwa daripada Ahmad
bin Hanbal.”
Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku
tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad bin Hanbal.” Orang-orang bertanya
kepadanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia
melebihi yang lain?” Al-Warraq menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang
60.000 masalah, dia akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada
kami,’ atau, ‘Telah disampaikan hadits kepada kami’.” Ahmad bin Syaiban
berkata, “Aku tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada
seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan
mendudukkan beliau di sisinya jika menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat
menghormati beliau, tidak mau berkelakar dengannya.” Demikianlah, padahal
seperti diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan
terkenal sebagai salah seorang imam
huffazh.
Keteguhan di Masa Penuh Cobaan
Telah menjadi keniscayaan bahwa
kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian dan cobaan, terlebih lagi
seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad
termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan dari tiga orang khalifah Bani
Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.
Pada masa pemerintahan Bani
Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang berkuasa menjadikan
unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang kekuasaan mereka.
Khalifah al-Makmun menjadikan orang-orang Persia sebagai kekuatan pendukungnya,
sedangkan al-Mu‘tashim memilih orang-orang Turki. Akibatnya, justru sedikit
demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka. Pada masa itu dimulai penerjemahan
ke dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania, Persia, dan India
dengan sokongan dana dari penguasa.
Akibatnya, dengan cepat berbagai
bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke dalam akidah dan ibadah kaum muslimin.
Berbagai macam kelompok yang sesat menyebar di tengah-tengah mereka, seperti
Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tazilah, dan lain-lain.
Kelompok Mu‘tazilah, secara khusus,
mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari Khalifah al-Makmun. Mereka, di
bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi al-Makmun untuk membenarkan
dan menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di antaranya pendapat yang mengingkari
sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam (berbicara). Berangkat dari
pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah al-Makmun kemudian memaksa kaum
muslimin, khususnya ulama mereka, untuk meyakini kemakhlukan Alquran.
Sebenarnya Harun ar-Rasyid, khalifah
sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat tentang kemakhlukan Alquran.
Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani menyatakan pendapat itu
sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku pernah mendengar Harun
ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy
mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan kewajibanku, jika Allah
menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia dengan cara
yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun.’”
Tatkala Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan
beralih ke tangan al-Amin, kelompok Mu‘tazilah berusaha menggiring al-Amin ke
dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin menolaknya. Baru kemudian ketika
kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun, mereka mampu melakukannya.
Untuk memaksa kaum muslimin menerima
pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai mengadakan ujian kepada mereka.
Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara,
disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah
dan warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia telah menjadi bahan pembicaraan
mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa di negeri Irak dan selainnya.
Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan ulama tentang hal itu. Tidak
terhitung dari mereka yang menolak pendapat kemakhlukan Alquran, termasuk di
antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa
Alquran itu kalamullah, bukan makhluk.
Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan
bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota
Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan terbelenggu.
Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke Thursus,
sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana karena
telah sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa
Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.
Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan
berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat dari
al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan menguji orang-orang
dalam hal tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkannya dari
penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Mereka
mendebat beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi beliau mampu membantahnya
dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk sampai
tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di
sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan menurut yang lain-. Selama itu
beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu.
Selama itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim
mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak
berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam
dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan
menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh
kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang dengan kokohnya.
Sakit dan Wafatnya
Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari
penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan.
Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali
menyampaikan pelajaranpelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya, al-Watsiq diangkat
menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun
melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya. Dia pun masih menjalin
kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad
merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar
berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya, tidak
keluar darinya bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan
itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun, yaitu sampai al-Watsiq
meninggal tahun 232.
Sesudah al-Watsiq wafat,
al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua tahun masa pemerintahannya,
ujian tentang kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234,
dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya
larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Alquran dan ancaman hukuman mati
bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para
ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka demikianlah,
orang-orang pun bergembira pun dengan adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji
khalifah atas keputusannya itu dan melupakan kejelekan-kejelekannya. Di
mana-mana terdengar doa untuknya dan namanya disebut-sebut bersama nama Abu
Bakar, Umar bin al-Khaththab,
dan Umar bin Abdul Aziz.
Menjelang wafatnya, beliau jatuh
sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan
ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya,
sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya,
pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau menghadap
kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan kepadanya. Kaum muslimin
bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar
jenazah beliau sampai beratusan ribu orang.
Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada
pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu
juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat
banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan
kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan
kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada)
hari kematian kami.”
Demikianlah gambaran ringkas ujian
yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap agung beliau yang tidak
akan diambil kecuali oleh orangorang yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau
bersikap seperti itu justru ketika sebagian ulama lain berpaling dari
kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya
itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau
sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy berkata menggambarkan
keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan agama ini lewat dua orang
laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada Yaumur
Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan
Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah.”
(Dikutip dari muslim.or.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar